Jabarhotnews – Aktivitas pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, kini tengah menuai sorotan sebagian publik di Tanah Air.
Hal itu usai Presiden RI, Prabowo Subianto memerintahkan jajarannya untuk meninjau langsung lokasi kawasan tambang di Raja Ampat.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mengungkap hal tersebut seraya menegaskan pihaknya telah mencabut 4 izin usaha tambang (IUP) terhadap 4 perusahaan. Hal itu salah satunya berdasarkan aspirasi dari tokoh masyarakat setempat.
“Dalam rapat kami, kita minta aspirasi dari tokoh-tokoh masyarakat, apa sesungguhnya yang terjadi dan mereka meminta agar tolong dipertimbangkan empat IUP yang masuk dalam kawasan Geopark,” ungkap Bahlil dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, pada Selasa, 10 Juni 2025.
Pencabutan dilakukan terhadap empat IUP yang berada di luar Pulau Gag, yaitu PT Nurham, PT Anugrah Surya Pertama, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Mulia Raymond Perkasa.
Berkaca dari hal itu, Raja Ampat memang sejak dulu dikenal sebagai lokasi ‘harta karun’ dari hasil bumi yang potensial, mulai dari rempah-rempah, perkebunan, hingga perikanan.
Antropolog Leonard Y. Andaya dalam riset berjudul The World of Maluku (1993) mengisahkan, selama masa Kesultanan Tidore atas Raja Ampat, kekuasaannya memanfaatkan wilayah tersebut untuk meraih kekayaan dan meningkatkan kesejahteraan.
Tidore kemudian menjadikan sektor perikanan dan rempah-rempah sebagai komoditas utama ekspor.
Dari sini, diketahui ‘harta karun’ di Raja Ampat tetap dimanfaatkan oleh Tidore dan warga lokal Papua.
Menurut riset Ekspedisi Tanah Papua (2008), kesultanan Tidore hanya mengambil serba sedikit dari apa yang disediakan alam.
Proses eksploitasi skala besar atas sumber daya alam di Raja Ampat atau Papua secara umum baru terjadi pada abad ke-21 atau sekitar tahun 1930-an.
Kala itu, pemerintah kolonial Belanda sudah melihat besarnya potensi ekonomi di wilayah Indonesia Timur itu.