Bandung, Jabarhotnews – Ikon wisata Teras Cihampelas yang dibangun pada tahun 2017 dengan anggaran fantastis Rp 48 miliar, kini berada di persimpangan jalan.
Bangunan yang digagas pada masa kepemimpinan Ridwan Kamil ini, yang awalnya diharapkan menjadi ruang publik terpadu, pusat UMKM, dan solusi mengatasi kemacetan serta area pariwisata dengan konsep Transit Oriented Development (TOD), justru menunjukkan kondisi memprihatinkan.
Sepi pengunjung, fasilitas rusak, kios tutup, dan masalah rembesan air menjadi pemandangan umum yang menyulut perdebatan sengit mengenai nasibnya.
Dari Harapan Menjadi Kenyataan yang Memprihatinkan
Teras Cihampelas didirikan dengan visi besar untuk menyatukan area komersial, ruang publik, dan pariwisata dalam satu kawasan.
Pengerjaannya yang memakan waktu sempat menimbulkan kemacetan dan mengganggu lingkungan sekitar, namun harapan akan dampak positif dan manfaatnya tetap membumbung tinggi. Namun, realitas hari ini sangat berbeda.
Teras Cihampelas kini terlihat sederhana, tidak terawat, dan minim pengunjung. Kios-kios yang seharusnya menjadi denyut perekonomian UMKM banyak yang tutup, meninggalkan kesan terbengkalai.
Pemerintah Kota Bandung kerap beralasan kondisi ini disebabkan oleh pandemi COVID-19. Namun, kritik muncul terkait minimnya analisis mendalam mengenai penyebab kegagalan konsep ini, seperti kesalahan perhitungan, pemilihan lokasi yang kurang tepat, ketiadaan fasilitas parkir yang memadai, serta yang paling krusial, buruknya pengelolaan dan pemeliharaan.
Anggota DPRD Dapil 1 yang meliputi wilayah Cihampelas, mencatat keluhan warga yang semakin banyak, mendorong perlunya pemikiran serius dan kolaborasi untuk mencari solusi.
Dua Jalan Menuju Solusi: Revitalisasi atau Pembongkaran
Menyikapi kondisi Teras Cihampelas, masyarakat menyuarakan dua aspirasi utama.
Pertama, permintaan agar pemerintah kota menunjukkan keseriusan dalam merevitalisasi dan merenovasi Teras Cihampelas agar sesuai dengan janji awal pembangunan.
Kedua, mengikuti saran Gubernur Jawa Barat untuk membongkar bangunan tersebut dan mengembalikan kondisi lahan seperti semula sebelum pembangunan.
Wacana pembongkaran ini tentu memicu kontroversi, terutama mengingat Teras Cihampelas merupakan salah satu warisan dari era Ridwan Kamil.
Beberapa pihak menilai bahwa pembongkaran merupakan langkah yang tidak tepat, mengingat besarnya investasi yang telah dikeluarkan.
Namun, di sisi lain, ada pandangan yang lebih menekankan pada aspek hukum dan pemerintahan terkait pengelolaan aset daerah.
Perspektif Hukum dan Pengelolaan Aset Daerah
Dari sudut pandang hukum pengelolaan aset daerah, saran Gubernur Jawa Barat mengenai pembongkaran Teras Cihampelas memunculkan perdebatan mengenai prosedur yang seharusnya ditempuh.
Alih-alih sekadar “dibongkar”, istilah yang lebih tepat menurut aturan pengelolaan aset daerah adalah “pemusnahan” yang dilanjutkan dengan “penghapusan Barang Milik Daerah”.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 7 Tahun 2024 yang merupakan perubahan dari Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Daerah.
Secara singkat, barang milik daerah, dalam hal ini Teras Cihampelas, dapat dimusnahkan jika memenuhi kriteria tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, atau tidak dapat dipindahtangankan, serta alasan lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemusnahan dapat dilakukan melalui berbagai cara, termasuk dibakar, dihancurkan, ditimbun, ditenggelamkan, atau cara lain yang diatur. Dalam konteks Teras Cihampelas, cara yang paling logis adalah dihancurkan.
Mekanisme Pemusnahan dan Penghapusan Aset
Prosedur pemusnahan atau pembongkaran aset daerah memiliki mekanisme yang jelas. Pengguna barang, dalam hal ini dinas terkait, harus mengajukan usulan pemusnahan kepada pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah, yaitu Walikota Bandung, dengan menyertakan alasan yang kuat, baik berdasarkan kajian maupun hasil kerja.
Keputusan persetujuan ini akan dibantu oleh pertimbangan dari Pengelola Barang (Sekretaris Daerah) dan Pejabat Penatausahaan Barang (Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah).
Penting untuk ditekankan bahwa pengajuan pemusnahan harus didasarkan pada pertimbangan komprehensif demi kebaikan Kota Bandung, bukan semata-mata mengikuti saran dari pihak eksternal.
Walikota memiliki kewenangan penuh untuk menyetujui atau menolak usulan tersebut berdasarkan alasan yang diajukan oleh pengguna barang dan pertimbangan dari pengelola serta penatausahaan barang.
Berbeda dengan pemindahtanganan aset daerah yang memerlukan persetujuan DPRD, pemusnahan aset tidak diatur demikian, sehingga peran krusial berada di tangan pemerintah kota dalam hal persetujuan, pelaksanaan, dan penghapusan.
Apabila permohonan pemusnahan disetujui, maka pengguna barang akan melaksanakan pemusnahan dan membuat berita acara pemusnahan.
Setelah itu, barulah dilakukan penghapusan barang milik daerah yang disebabkan oleh pemusnahan tersebut.
Seluruh proses ini harus dilakukan secara cermat dan sesuai prosedur yang berlaku.
Rekomendasi Menuju Solusi Terbaik
Menyikapi kompleksitas masalah Teras Cihampelas, terdapat dua rekomendasi utama yang dapat dipertimbangkan.
Pertama, Pemerintah Kota Bandung harus berupaya keras untuk melakukan revitalisasi dan renovasi.
Meskipun tidak mudah dan dihadapkan pada keterbatasan serta kesalahan awal yang berdampak pada kondisi saat ini, pemerintah harus memformulasikan strategi yang tepat.
Ini termasuk memaksimalkan kinerja Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait dan menjalin kolaborasi dengan pihak ketiga jika diperlukan.
Kedua, mengambil langkah yang diperbolehkan oleh aturan pengelolaan barang milik daerah, yaitu melalui prosedur pemusnahan dan penghapusan.
Langkah ini harus dilakukan dengan teliti, hati-hati, dan berdasarkan aturan yang berlaku.
Kedua opsi tersebut tentu memiliki risiko masing-masing.
Namun, jika Walikota dan jajaran pemerintahannya berhasil memberikan solusi yang tepat dan terukur, hal tersebut akan menjadi bukti kepiawaian dan realisasi dari semangat “Bandung Utama”.
Kepuasan masyarakat akan menjadi tolok ukur keberhasilan dalam menangani salah satu aset daerah yang kini tengah menghadapi masa depan yang tidak pasti.